adalah
rangkaian amalan dari KH KHOLIL, mulai dari Sholawat yang biasa dilantunkan
beliau, ditambah AYAT 17-23 QS THAHA dan asmaul husna serta ayat 10-12 QS NUH
diakhiri dengan Istighfar.
BIOGRAFI
KH KHOLIL
Banyak
ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan
lahirnya jauh sesudah syaikhona Kholil meninggal, mengakui kalau perintis
dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik,
melainkan pembimbing secara batin.
Sejumlah
murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil adalah,
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah
(Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul
Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq
(Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton
Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai
Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak
Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata
Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh
pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai
Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada
Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil mencetak para santri-santrinya
menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai yang menjadi penentu
berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang
disingkat (NU).
KH
Kholil menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH
Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad
Dahlan. Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi
nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di
antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu
sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.
Sampai
sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib
dengan Kyai Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari
ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam
beliau. Pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil
Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal,
kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk
mendalami kitab-kitab lain.
Kiai
Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa
Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad
Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab
alfiyah di makam Kyai Kholil. Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama
sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu
dia mempelajari kitab alfiyah. Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah.
Kyai
Kholil paling dituakan dan berkaromah di antara para ulama saat itu. Yang
sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa
mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan
semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya.
Mbah
Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab
Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya
untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib
yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan
lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu
bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil
mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib
piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat
konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. Hasilnya
terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang
senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan
gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan.
Karomah
lain dari Kyai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di
beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau
mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak
terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub. Para santri
heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung
ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki
itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Kyai
Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah
laut, langsung ditolong Kyai Kholil. Kedatangan nelayan itu membuka tabir.
Ternyata saat memberi pengajian, Kyai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai
untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki,
dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu.
***
Hari
Selasa, 27 Januari 1820 atau 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H/ 11 Jamadilakhir 1235
Hijrah di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten
Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung
Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten
Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang teramat
sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang
sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil.
Kiai
‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin
ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan
meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah
agar Dia mengabulkan permohonannya.
KH.
Kholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim,
anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai
Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman.
Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd
Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati
karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh
ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat
yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar
biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait
ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya
mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke
berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Mengawali
pengembaraannya, sekitar tahun 1850 an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad
Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren
Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren
Keboncandi, Pasuruan.
Selama
di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung
keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7
Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Kholil rela melakoni
perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap
perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca
Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam
berkali-kali.
Sebenarnya,
bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan,
tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi,
meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh
ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia
juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil
pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain),
Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.
Akan
tetapi, Kholil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau
merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Kholil
tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik inulah Kholil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kemandirian
Kholil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena
pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk
mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Kholil tidak
menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua
orangtuanya.
Kemudian,
setelah Kholil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh
pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri
di Banyuwangi ini, Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada
gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Kholil menyiasatinya
dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta
menjadi juru masak teman-temannya, dari situlah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya,
pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah,
berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa
tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk
makan selama pelayaran, konon, Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan
Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Sebagai
pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang
Indonesia) pada umumnya, Kholil belajar pada para syekh dari berbagai
mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti
Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian
dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.
Kebiasaan
hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di
Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain
yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman
seangkatan Kholil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak
habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu. Padahal,
sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari
Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya,
dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual.
Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi).
Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup
prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi
ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi
dan menjadi panutannya.
Sepulangnya
dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil
dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun
dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan
serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga
akhirnya, Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan,
sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari
hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun,
setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri,
yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian
diserahkan kepada menantunya. Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren
lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah
Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu,
hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di
tempat yang baru ini, Kiai Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan
saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri
pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di
sisi lain, Kiai Kholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat
(nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh
sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir
ini, nama Kiai Kholil lebih dikenal.
masa
hidup Kiai Kholil, Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di Madura. Kiai
Kholil adalah ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada
siapa Kiai Kholil belajar Tarekat. Tapi, diyakini ada silsilah bahwa Kiai
Kholil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan — ahli Tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah.
Masa
hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan perlawanan; pertama, ia
melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan
murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan
mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini
dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari
tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri
Pesantren Tebuireng.
Cara
yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka,
melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini
tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan
batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika
pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang
menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah membuat pusing pihak
Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti
tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh
supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di
hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan
kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya.
Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai
Kholil untuk di bebaskan saja.
Peran
Kiai Kholil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi,
hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari,
menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu
digarisbawahi bahwa Kiai Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh
tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas
kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924,
saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar
(potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup
ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari
kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat
Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan
politik.
Pada
perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin
mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar
daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai
Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal
ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke
semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling
berpengaruh pada saat itu.
Namun,
Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut.
Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon
petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara
itu, Kiai Kholil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam
mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang
santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap
kepadanya.
“Saat
ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.”
Kata Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai
As’ad sambil menerima tongkat itu. Bacakanlah kepada Kiai Hasyim AYAT 17-23 QS
THAHA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar