tentang Kitabullah dan Sunnah,
disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul
Hasan.
Tetapi, dari semua yang Beliau
terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam
kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah
thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut
sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT.
Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :
Beliau, asy Syekh al Imam Abil
Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :
1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif
Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari
2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman
al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al
Fuqoyr ash Shufy, dari
4. Sayyidisy Syekh al Quthub
Fakhruddin, dari
5. Sayyidisy Syekh al Quthub
NuruddinAbil HasanAli, dari
6. Sayyidisy Syekh Muhammad
Tajuddin, dari
7. Sayyidisy Syekh Muhammad
Syamsuddin, dari
8. Sayyidisy Syekh al Quthub
Zainuddin al Qozwiniy, dari
9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi
Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil
Qosim Ahmad al Marwani, dari
11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad
Said, dari
12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari
13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi
Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
14. Sayyidisy Syekh al Quthub
Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi
Muhammad Jabir, dari
16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin
Ali, dari
17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib,
karromallahu wajhah, dari
18. Sayyidina wa Habibina wa
Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis
salam, dari
20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.
Setelah menerima ajaran dan
baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata
hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini
belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya
kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain
berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena
kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus
Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.
Thoriqot ini pula, di kemudian
hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir,
Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui
murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali
mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat
umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap
sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini
dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para
ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai
sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot
yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru
mursyidnya serta para pengamalnya.
Setelah cukup lama Beliau
tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid.
Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid
tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan
dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah
saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah
sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di
sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan
menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”
“Setelah itu,” lanjut asy
Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan
mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu.
Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah
kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menjadikan engkau seorang
Quthub.”
Pada waktu akan berpisah,
Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk
yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia,
berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah
kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada
menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan
terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.)
dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka
sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”
Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan
engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi
hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah
waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari
ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan
selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan
kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan
beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas
segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘
Selanjutnya, setelah
perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes,
Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau.
Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam
Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh
penjuru dunia.
Seusai berpisah dengan asy
Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama
sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa
bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah
desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat
Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan
dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu
siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah
kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali
terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan
mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.
Beliau tinggal di
tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di
kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah
keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari
hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai
dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan
menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.
Akhirnya, Beliau memilih
tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan.
Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau
bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda
penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya
(mukasyafah).
Di bukit itu, Beliau melakukan
laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap
jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh,
mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh
guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan
suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang
cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Untuk kehidupannya, Beliau
bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di
sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu,
Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi keperluan beliau.
Pernah, pada suatu hari,
Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran
terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi
terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan.
Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah
untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau
berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”.
Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke
desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.
Berkaitan dengan pengalaman
keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah
melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus
sholatu was salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian
dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang
bercakap-cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para
waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan
mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al
Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka
dengan asy Syekh.
Sehubungan dengan nama desa
Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau,
bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah
pertanyaan kepada Allah SWT, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan
namaku ?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan
nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya
jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat
demi untukKu dan demi cinta kepada-Ku.”
Beliau tinggal di bukit
Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan
perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya
untuk segera mendatangi masyarakat.
Diceritakan oleh beliau,
begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali, turun dan
datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !’ Lalu,
akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena
aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku,
‘Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku
singkirkan engkau dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau
serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta
yang aku pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan
Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘
Setelah selesai menjalani seperti
apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat
perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka
Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya,
yaitu menuju ke kota Tunis.
Kalau dirunut nasab maupun
tempat kelahiran syekh agung ini, tidak didapati sebuah nama yang memungkinkan
ia dinamakan Syadzili. Dan memang, nama tersebut adalah nama yang dia peroleh
dalam perjalanan ruhaniah.
Dalam hal ini Abul Hasan
sendiri bercerita : “Ketika saya duduk di hadapan Syekh, di dalam ruang kecil,
di sampingku ada anak kecil. Di dalam hatiku terbersit ingin tanya kepada Syekh
tentang nama Allah. Akan tetapi, anak kecil tadi mendatangiku dan tangannya
memegang kerah bajuku, lalu berkata, “Wahai, Abu al–Hasan, kamu ingin bertanya
kepada Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu adalah nama yang
kamu cari, maksudnya nama Allah telah berada dalam hatimu. Akhirnya Syekh
tersenyum dan berkata, “Dia telah menjawab pertanyaanmu”.
Selanjutnya Syekh Abdussalam
memerintahkan Abu al-Hasan untuk pergi ke daerah Afriqiyyah tepatnya di daerah
bernama Syadzilah, karena Allah akan menyebutnya dengan nama Syadzili –padahal
pada waktu itu Abu al-Hasan belum di kenal dengan nama tersebut-.
Sebelum berangkat Abu al-Hasan
meminta wasiat kepada Syekh, kemudian dia berkata, “Ingatlah Allah, bersihkan
lidah dan hatimu dari segala yang mengotori nama Allah, jagalah anggota badanmu
dari maksiat, kerjakanlah amal wajib, maka kamu akan memperoleh derajat
kewalian. Ingatlah akan kewajibanmu terhadap Allah, maka kamu akan memperoleh
derajat orang yang wara’. Kemudian berdoalah kepada Allah dengan doa,
“Allahumma arihnii min dzikrihim wa minal ‘awaaridhi min qibalihim wanajjinii
min syarrihim wa aghninii bi khairika ‘an khairihim wa tawallanii bil khushuushiyyati
min bainihim innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir”.
Selanjutnya sesuai petunjuk
tersebut, Syekh Abu al-Hasan berangkat ke daerah tersebut untuk mengetahui
rahasia yang telah dikatakan kepadanya. Dalam perjalanan ruhaniah kali ini dia
banyak mendapat cobaan sebagaimana cobaan yang telah dialami oleh para
wali-wali pilihan. Akan tetapi dengan cobaan tersebut justru semakin menambah
tingkat keimanannya dan hatinya semakin jernih.
Sesampainya di Syadzilah,
yaitu daerah dekat Tunis, dia bersama kawan-kawan dan muridnya menuju gua yang
berada di Gunung Za’faran untuk munajat dan beribadah kepada Allah SWT. Selama
beribadah di tempat tersebut salah satu muridnya mengetahui bahwa Syekh Abu
al-Hasan banyak memiliki keramat dan tingkat ibadahnya sudah mencapai tingkatan
yang tinggi.
Pada akhir munajat-nya ada
bisikan suara , “Wahai Abu al-Hasan turunlah dan bergaul-lah bersama
orang-orang, maka mereka akan dapat mengambil manfaat darimu, kemudian beliau
berkata: “Ya Allah, mengapa Engkau perintahkan aku untuk bergaul bersama
mereka, saya tidak mampu” kemudian dijawab: “Sudahlah, turun Insya Allah kamu
akan selamat dan kamu tidak akan mendapat celaan dari mereka” kemudian beliau
berkata lagi : “Kalau aku bersama mereka, apakah aku nanti makan dari dirham mereka?
Suara itu kembali menjawab : “Bekerjalah, Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh
rizik dari usahamu juga dari rizki yang Aku berikan secara gaib.
Dalam dialog ilahiyah ini, dia
bertanya kepada Allah, kenapa dia dinamakan syadzili padahal dia bukan berasal
dari syadzilah, kemudian Allah menjawab: “Aku tidak menyebutmu dengan syadzili
akan tetapi kamu adalah syadzdzuli, artinya orang yang mengasingkan untuk
ber-khidmat dan mencintaiku”.
Dialog ilahiyah yang sarat
makna dan misi ini membuatnya semakin mantap menapaki dunia tasawuf. Tugas
selanjutnya adalah bergaul bersama masyarakat, berbaur dengan kehidupan mereka,
membimbing dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan ketenangan hidup. Dan Tunis
adalah tempat yang dituju wali agung ini.
Di Tunis Abul Hasan tinggal di
Masjid al-Bilath. Di sekitar tempat tersebut banyak para ulama dan para sufi.
Di antara mereka adalah karibnya yang bernama al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim,
Syekh Abu al-Hasan al-Shaqli dan Abu Abdillah al-Shabuni.
Popularitas Syekh Abu al-Hasan
semerbak harum di mana-mana. Aromanya sampai terdengar di telinga Qadhi
al-Jama’ah Abu al-Qasim bin Barra’. Namun aroma ini perlahan membuatnya sesak
dan gerah. Rasa iri dan hasud muncul di dalam hatinya. Dia berusaha memadamkan
popularitas sufi agung ini. Dia melaporkan kepada Sultan Abi Zakaria, dengan
tuduhan bahwa dia berasal dari golongan Fathimi.
Sultan meresponnya dengan
mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu al-Hasan dan Qadhi Abul Qosim.
Hadir di situ juga para pakar fiqh. Pertemuan tersebut untuk menguji seberapa
kemampuan Syekh Abu al-Hasan.
Banyak pertanyaan yang
dilontarkan demi menjatuhkan dan mempermalukan Abul Hasan di depan umum. Namun,
sebagaimana kata-kata mutiara Imam Syafi’i, dalam ujian, orang akan terhina
atau bertambah mulia. Dan nyatanya bukan kehinaan yang menimpa wali besar.
Kemuliaan, keharuman nama justru semakin semerbak memenuhi berbagai lapisan
masyarakat.
Qadhi Abul Qosim menjadi
tersentak dan tertunduk malu. Bukan hanya karena jawaban-jawaban as-Syadzili
yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan, tapi pengakuan Sultan bahwa Syekh
Abu al-Hasan adalah termasuk pemuka para wali. Rasa iri dan dengki si Qadhi
terhadap Syekh Abu al-Hasan semakin bertambah, kemudian dia berusaha membujuk
Sultan dan berkata: “Jika tuan membiarkan dia, maka penduduk Tunis akan
menurunkanmu dari singgasana”.
Ada pengakuan kebenaran dalam
hati, ada juga kekhawatiran akan lengser dari singgasana. Sultan demi
mementingkan urusan pribadi, menyuruh para ulama’ fikih untuk keluar dari
balairung dan menahan Syekh Abu al-Hasan untuk dipenjara dalam istana.
Kabar penahanan Syekh Abul
Hasan mendorong salah seorang sahabatnya untuk menjenguknya. Dengan penuh rasa
prihatin si karib berkata, “Orang-orang membicarakanmu bahwa kamu telah
melakukan ini dan itu”. Sahabat tadi menangis di depan Syekh Abu al-Hasan lalu
dengan percaya diri dan kemantapan yang tinggi, Syekh tersenyum manis dan
berkata, “Demi Allah, andaikata aku tidak menggunakan adab syara’ maka aku akan
keluar dari sini –seraya mengisyaratkan dengan jarinya-. Setiap jarinya
mengisyaratkan ke dinding maka dinding tersebut langsung terbelah, kemudian
Syekh berkata kepadaku: “Ambilkan aku satu teko air, sajadah dan sampaikan
salamku kepada kawan-kawan. Katakan kepada mereka bahwa hanya sehari saja kita
tidak bertemu dan ketika shalat maghrib nanti kita akan bertemu lagi”.
Tunis, kendatipun bisa
dikatakan cikal bakal as-Syadzili menancapkan thariqah Syadziliyah namun itu
bukan persinggahan terakhirnya. Dari Tunis, Syekh Abu al-Hasan menuju negara kawasan
timur yaitu Iskandariah. Di sana dia bertemu dengan Syekh Abi al-Abbas
al-Mursi. Pertemuan dua Syekh tadi memang benar-benar mencerminkan antara
seorang mursyid dan murid.
Adapun sebab mengapa Syekh
pindah ke Mesir, beliau sendiri mengatakan, “Aku bermimpi bertemu baginda Nabi,
beliau bersabda padaku : “Hai Ali… pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang
yang benar-benar takut kepadaku”.
Di Iskandariah beliau menikah
lalu dikarunia lima anak, tiga laki-laki, dan dua perempuan. Semasa di Mesir
beliau sangat membawa banyak berkah. Di sana banyak ulama yang mengambil ilmu
dari Syekh agung ini. Di antara mereka adalah hakim tenar Izzuddin bin
Abdus-Salam, Ibnu Daqiq al-Iid , Al-hafidz al-Mundziri, Ibnu al-Hajib, Ibnu
Sholah, Ibnu Usfur, dan yang lain-lain di Madrasah al-Kamiliyyah yang terletak
di jalan Al-muiz li Dinillah.
Selama berada di Tunisia,
beliau bersahabat dan banyak berdiskusi dengan para Ulama dan kaum Sufi besar
disana. Di antara mereka terdapat :
• Syekh Abul Hasan Ali bin
Makhluf As Syazili
• Abu Abdullah Al Shabuni
• Abu Muhammad Abdul Aziz Al-Paituni
• Abu Abdillah Al Binai Al Hayah
• Abu Abdillah Al-Jarihi
Sedangkan diantara murud-murid
beliau di Tunisia, dimana sebagian mereka adalah para Ulama kenamaan’ yaitu :
• Izzudin bin Abdul Salam
• Taqiyudin bin Daqiqi’id
• Abul Adhim Al-Munziri
• Ibnu Shaleh
• Ibnu Hajib
• Jamaluddin Usfur
• Nabiuddin bin Auf
• Muhyiddin bin Suraqah
• Ibnu Yasin
Diantara kemuliaan beliau,
sebagaimana kesaksian sahabat seperjalanannya, bahwa diutusnya Syekh Abul Hasan
Ali As Syazili oleh gurunya agar berangkat menuju Iskandaria, karena di kota
itu telah menunggu 40 Waliyullah untuk meneruskan pelajaran kepada beliau.
Dasar-dasar Pemikiran Syekh
Abul Hasan Ali Asy Syadzili
• Seseorang yang ingin mendalami
ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan memahami ajaran
Syari’ah.
• Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf
kepada murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :
1. Khatam Al Auliyah karya Al
Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )
2. Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya
Syekh Muhammad bin Abdul Jabbar An Nifari ( menguraikan tentang kerinduan Tokoh
sufi kepada Allah swt )
3. Qutub Qulub karya Abu Tholib Al
Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat
bersatu )
4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )
5. Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh (
dipergunakan untuk mengambil sumber Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari
sudut pandang Ahli Fiqih )
6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam
Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )
7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam
karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian )
Syekh Abu al-Abbas al-Mursy, murid
kesayangan dan penerus thariqah Syadziliyah mengatakan bahwa gurunya setiap
tahun menunaikan ibadah haji, kemudian tinggal di kota suci mulai bulan Rajab
sampai masa haji habis. Seusai ibadah haji beliau pergi berziarah ke makam Nabi
SAW di Madinah. Pada musim haji yang terakhir yaitu tahun 656H, sepulang dari
haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa minyak wangi dan perangkat
merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya bertanya untuk apa kesemuanya ini,
beliau menjawab, “Di Jurang Humaistara (di propinsi Bahr al-Ahmar) akan terjadi
kejadian yang pasti. maka di sanalah beliau meninggal. Beliau wafat pada tahun
656 H / 1258 M di Homaithira, Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar