As’ad
segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri
pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Kholil
datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut
benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan
tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu,
sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan
penuh perasaan.
“Ada
lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad.
Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Kholil. Mendengar ayat yang
dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah
Kiai Kholil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya
tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak
saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang
diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul
lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata
As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan asmak YA JABBAR, YA QAHHAR (lafadz
asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.
Sekali
lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap
untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Kholil
meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa
terwujud.
Baru
setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu
itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari,
jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”. Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap
isyarat adanya restu dari Kiai Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong
tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu
diterimanya dari Kiai Kholil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah
satu Wali Allah.
***
Kiai
Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja.
Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab
Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir
abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi
perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti
telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi
penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah,
Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat
dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa
Kiai Kholil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab
juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi
lain, Kiai Kholil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat
dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut
bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang
notabene seangkatan dengan Kiai Kholil. Memang, Kiai Kholil hidup pada
masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga
kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu
kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Kholil. Namun demikian,
perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa
Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan
syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Kholil justru meletakkan dan
menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam
penggabungan dua hal ini, Kiai Kholil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga
ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain
itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun,
yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan
tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai
Kholil tersebut.
Dalam
bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya
Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu
yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Kholil
diantaranya: Pertama, Kiai Kholil turut melakukan pengembangan
pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi
Masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit
orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja;
di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah
pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat
banyak santri Kiai Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti
Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri
Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang),
dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai
Kholil, banyak murid-murid yang dikemudian hari
mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga
pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua,
selain Pesantren yang Kiai Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga
meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga
akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat. K.H. Muhammad Kholil, adalah
satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh
pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh
pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Kholil, yang
tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Kholil
***
Istilah
karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh Thohir
bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang
tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Ketika
Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada seorang kiai yang
sangat sakti mandraguna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin sekali belajar
kepada Abu Darin. Semangat untuk menimba ilmu itu begitu menggebu-gebu pada
dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu jauh dari Bangkalan di Pulau Madura
ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak dianggapnya sebagai rintangan berarti, meski
harus berjalan kaki.
Namun apa
daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tempat kiai Abu Darin
membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat. Dia meninggal hanya
beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda. Habislah harapannya untuk
mewujudkan cita-citanya berguru kepada kiai yang mempunyai ilmu tinggi
tersebut.
Dengan
langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya Kholil
berta’ziyah ke makam Kiai Abu Darin. Di depan pusara Kiai Darin, Kholil
membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang ke-41, ketika Kholil tengah
ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir dalam mimpinya.
Dalam
kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk belajar sungguh
terpuji. Telah aku ajarkan kepadamu beberapa ilmu, maka peliharalah.” Kholil
lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal kandungan kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pesantren
itu. Subhanallah.
Pada
kisah yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya dari musibah,
padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon santri di tengah Alas
Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut
cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia berangkat dari Kempek,
Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Madura, untuk berguru
kepada Kiai Kholil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar
sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, serta thithikan, alat pemantik api
yang terbuat dari batu.
Setelah
berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka
sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.
Hutan itu
terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang
ada di hutan itu besar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang
buas di dalamnya. Namun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang
berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan
membantai mangsanya kalau melawan.
Menjelang
malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tempat untuk tidur,
tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena tampangnya biasa-biasa saja,
mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu kemudian bertanya apa mereka
punya thithikan,
karena ia akan menyulut rokok.
Namun
setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu halus
sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,”
kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut ke mulutnya lalu menggigitnya
sehingga pecah menjadi dua.
Terbelalak
mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu.
Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu.
Amin, yang paling berani di antara mereka, menjawab, “Kalau barang-barang
kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar
kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik
bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak
laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa. Wajahnya pucat
pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?”
“Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka gembira karena merasa
tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua barangmu
kepadaku,” kata lelaki itu. “Kalian tidur saja di sini, dan aku akan menjaga
kalian semalaman.”
Makin
ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaringkan badan tapi
mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan
harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo
kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar
kalian ke luar dari hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok lain,”
jawabnya tampak ramah.
Dalam
hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu
terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku rampok, dan menjual
kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu
saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon
santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalahkan Kiai Kholil dengan ilmu
putihnya.”
Maka enam
remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi
baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah
memperoleh karamah dari pemimpin pesantren tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar