HATF
Hatf
adalah sebuah pedang milik Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan dari Banu
Qaynaqa. Dulunya, pedang ini milik Nabi Daud AS dan Nabi Daud mengambil pedang
‘Al Battar’ dari Goliath sebagai rampasan ketika dia mengalahkan Goliath
tersebut pada saat umurnya 20 tahun. Allah SWT memberi kemampuan kepada Nabi Daud
AS untuk ‘bekerja’ dengan besi, membuat baju baja, senjata dan alat perang, dan
dia juga membuat senjatanya sendiri. Dan Hatf adalah salah satu buatannya,
menyerupai Al Battar tetapi lebih besar dari itu. Dia menggunakan pedang ini
yang kemudian disimpan oleh suku Levita (suku yang menyimpan senjata-senjata
barang Israel) dan akhirnya sampai ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sekarang pedang
ini berada di Musemum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade, dengan panjang 112 cm
dan lebar 8 cm.
AL
MIKHDHAM
Ada
yang mengabarkan bahwa pedang ini berasal dari Nabi Muhammad SAW yang
kemudian diberikan kepada Ali bin Abi Thalib dan diteruskan ke anak-anaknya
Ali. Tapi ada kabar lain bahwa pedang ini berasal dari Ali bin Abi Thalib
sebagai hasil rampasan pada serangan yang dia pimpin di Syria. Sekarang pedang
ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 97 cm,
dan mempunyai ukiran tulisan Arab yang berbunyi: ‘Zayn al-Din al-Abidin’.
AL
MAT’THUR
Juga
dikenal sebagai ‘Ma’thur Al-Fijar’ adalah pedang yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad SAW sebelum dia menerima wahyu yang pertama di Mekah. Pedang ini
diberi oleh ayahnya, dan dibawa waktu hijrah dari Mekah ke Medinah sampai
akhirnya diberikan bersama-sama dengan peralatan perang lain kepada Ali bin Abi
Thalib.
Sekarang
pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang
99 cm. Pegangannya terbuat dari emas dengan bentuk berupa 2 ular dengan
berlapiskan emeralds dan pirus. Dekat dengan pegangan itu terdapat Kufic ukiran
tulisan Arab berbunyi: ‘Abdallah bin Abd al-Mutalib’. Pedang ini adalah turun
temurun keluarga Rasulullah SAW.
AL ADB
Al-’Adb,
nama pedang ini, berarti “memotong” atau “tajam.” Pedang ini dikirim ke para
sahabat Nabi Muhammad SAW sesaat sebelum Perang Badar. Dia menggunakan pedang
ini dalam perang Uhud dan pengikut-pengikutnnya menggunakan pedang ini untuk
menunjukkan kesetiaan kepada Nabi Muhammad SAW. Sekarang pedang ini berada di
masjid Husain di Kairo Mesir. Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad
al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi. Cairo: Hijr, 1312/1992).
DHU
AL FAQAR
Dhu Al
Faqar adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan pada waktu
perang Badr. Dan dilaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan pedang ini
kepada Ali bin Abi Thalib, yang kemudian Ali mengembalikannya ketika Perang
Uhud dengan bersimbah darah dari tangan dan bahunya, dengan membawa Dhu Al
Faqar di tangannya. Banyak sumber mengatakan bahwa pedang ini milik Ali Bin Abi
Thalib dan keluarga. Berbentuk blade dengan dua mata.
AL
BATTAR
Al
Battar adalah sebuah pedang hasil rampasan dari Banu Qaynaqa. Pedang ini
disebut sebagai ‘Pedangnya para nabi’, dan di dalam pedang ini terdapat ukiran
tulisan Arab yang berbunyi : ‘Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Musa AS,
Nabi Harun AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Zakaria AS, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS, Nabi
Muhammad SAW’. Di dalamnya juga terdapat gambar Nabi Daud AS ketika memotong
kepala dari Goliath, orang yang memiliki pedang ini pada awalnya. Di pedang ini
juga terdapat tulisan yang diidentifikasi sebagai tulisan Nabataean. Sekarang
pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang
101 cm. Dikabarkan bahwa ini adalah pedang yang akan digunakan Nabi Isa AS
kelak ketika dia turun ke bumi kembali untuk mengalahkan Dajjal.
Dalam
pedang tersebut ada RAJAH nama-nama para nabi di dalamnya: gambar Nabi Daud AS
memenggal kepala Goliath.
AL
RASUB
Ada
yang mengatakan bahwa pedang ini dijaga di rumah Rasulullah SAW oleh keluarga
dan sanak saudaranya seperti layaknya bahtera (Ark) yang disimpan oleh bangsa
Israel. Sekarang pedang ini berada di Museup Topkapi Istanbul. Berbentuk pedang
dengan panjang 140 cm, mempunyai bulatan emas yang didalamnya terdapat ukiran
tulisan Arab yang berbunyi: ‘Ja’far al-Sadiq’.
AL
QADIB
Al-Qadib
berbentuk pedang tipis sehingga bisa dikatakan mirip dengan tongkat. Ini adalah
pedang untuk pertahanan ketika bepergian, tetapi tidak digunakan untuk
peperangan. Ditulis di samping pedang berupa ukiran perak yang berbunyi
syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasul Allah – Muhammad bin
Abdallah bin Abd al-Mutalib.” Tidak ada indikasi dalam sumber sejarah bahwa
pedang ini telah digunakan dalam peperangan. Pedang ini berada di rumah Nabi
Muhammad SAW dan kemudian hanya digunakan oleh khalifah Fatimid. Sekarang
pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Panjangnya adalah 100 cm dan
memiliki sarung berupa kulit hewan yang dicelup. '
QAL’A
Pedang
ini dikenal sebagai “Qal’i” atau “Qul’ay.” Nama yang mungkin berhubungan dengan
tempat di Syria atau tempat di dekat India Cina. Ulama negara lain bahwa kata
“qal’i” merujuk kepada “timah” atau “timah putih” yang di tambang berbagai
lokasi. Pedang ini adalah salah satu dari tiga pedang Nabi Muhammad SAW yang
diperoleh sebagai rampasan dari Bani Qaynaqa. Ada juga yang melaporkan bahwa
kakek Nabi Muhammad SAW menemukan pedang ini ketika dia menemukan air Zamzam di
Mekah. Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade
dengan panjang 100 cm. Didalamnya terdapat ukiran bahasa Arab berbunyi: “Ini
adalah pedang mulia dari rumah Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah.” Pedang ini
berbeda dari yang lain karena pedang ini mempunyai desain berbentuk gelombang.
TOPI PERANG BESI RASULULLAH SAW
Wongalus
“SIAPA YANG INGIN
BERSAHABAT DENGAN ALLAH, MAKA SEHARUSNYA IA MEMULAI DENGAN MENINGGALKAN SEGALA
SYAHWAT DIRI. SANG HAMBA TIDAK AKAN SAMPAI KEPADA ALLAH, JIKA MASIH ADA PADA
DIRINYA SEGALA KESENANGAN DIRINYA. DAN TIDAK JUGA SAMPAI, JIKA DALAM DIRINYA
ADA SEGALA KEINGINAN.”
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili lahir
Ghumarah, Maroko, 1197 – wafat Humaitsara, Mesir, 1258) adalah pendiri Tarekat
Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat terkemuka di dunia. Ia dipercayai
oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad, yang lahir
di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghreb (sekarang termasuk wilayah
Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.
Namanya lengkapnya adalah Abul
Hasan Asy-Syadzili Al-HasaniSyekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah pendiri
tarekat Syadziliah. Nasab Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Nabi
Muhammad SAW. Berikut ini nasab Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan, bin
Abdullah Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Hatim, bin Qushay, bin Yusuf,
bin Yusya’, bin Ward, bin Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin
Muhammad, bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW
Sebagian besar sumber yang
berbicara tentang sejarah Asy-Syadzili sepakat bahwa dia lahir di negeri
Maghrib pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah dekat
kota Sabtah (sekarang kota Ceuta, di Afrika Utara). Dia tumbuh di desa ini. Dia
menghapal Al Quran Al-Karim dan mulai mempelajari ilmu syariat. Kemudian dia
pergi ke kota Tunis ketika masih sangat muda. Dia tinggal di sebuah desa yang
bernama Syadzilah. Oleh karena itu, dia dinisbatkan kepada desa tersebut
meskipun dia tidak berasal dari sana, sebagaimana dikatakan oleh penulis
al-Qamus. Ada juga yang mengatakan bahwa dia dinisbatkan kepada desa tersebut
karena dia tekun beribadah di sana.
Asy-Syadzili berkulit sawo
matang, berbadan kurus, perawakannya tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua
tangannya panjang, dan lidahnya fasih serta perkataannya baik. Dia tidak
terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Dia selalu mengenakan pakaian
yang indah setiap kali memasuki masjid. Dia tidak pernah terlihat memakai
baju-baju bertambalan sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi. bahkan
selalu mengenakan pakaian bagus. Dia menyukai kuda, memelihara, dan
menungganginya. Dia selalu menasihatkan untuk bersikap moderat.
Sejak kecil Beliau biasa
dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq
atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan
santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki
cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki
kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat
tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah
bimbingan ayah-bunda beliau.
Beliau tinggal di desa tempat
kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke
kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata
hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur
Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi
Allah SWT.
Beliau sampai di kota Tunis,
sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599
H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir
‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus
untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu
telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus diangkat
sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.
Segera setelah pertemuan
dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said
al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu,
dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang
hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum
Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata
Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut
menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah
sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu.
Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna
menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar
ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu
alat.
Selain itu, karena kedekatan
Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said
menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun,
setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang
dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang
al Qur’an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat
atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan
jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali
Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau
menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan
diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi
Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan
sebagai Quthub.
Tempat pertama yang dituju
oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat
berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru
dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah
berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang
yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan
dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu
kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota
Mekkah.
Sesampainya di Iraq, dengan
tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang
seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang
berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak
mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.
Memang sepeninggal Sulthonil
Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad
Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh, kedudukan Wali Quthub yang
menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak
dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad
itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat
sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir
dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy
Syekh. Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang
berkedudukan “Quthbul Ghouts”.
Akhirnya, Beliau mendengar
adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot
Rifa’iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu ‘anh.
Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di
Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan
mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau
minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani
Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.
Mendengar penuturan beliau,
asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda,
engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari
sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz
Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko)
dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat
ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung.
Temuilah yang engkau cari di sana!”
Beberapa saat setelah mendapat
penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus
minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang
sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa
Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau
segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di
manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu
ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari
didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada
lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu
Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di
tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di
padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan
oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat
yang ditunjukkan itu.
Setelah melakukan perjalanan
yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud.
Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya,
di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan
perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang
terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata
air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan
serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki
derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin, disamping juga sebagai
seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan
betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu
pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir
dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan
mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa
tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata
air itu.
Namun, entah datang dari arah
mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut
mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai
penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman
jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat
kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana,
tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu
kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau,
dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa
‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa
keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban!
Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab
Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada
baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
Mendengar itu semua, Beliau
menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan
kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku
sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan
mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi
jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya
itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus
Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini
dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke
hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh
Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau
datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal
tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga
mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada
engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja
untuk menyambutmu”.
Selanjutnya, Beliau tinggal
bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak
sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang
selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan
nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.
Pada suatu hari dikatakan oleh
asy Syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa
melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau
berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali
engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan
menggelincirkan dirimu.”
Berkata asy Syekh Ibn Masyisy
kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkms
Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu;
Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan
pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”
Di lain waktu guru beliau,
rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul
empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap
dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.
Kemudian disusul pula dengan
empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah; MENJAUHI
larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti;
dan WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.
Asy Syekh juga pernah berpesan
kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk
Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan kcridhoan Allah, dan jangan pula engkau
duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau
bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat
kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah
keyakinanmu terhadap Allah”.
Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah
merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah.
Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus
Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar