Sabtu, 27 Juni 2015

nature 1



Panjenengan nate ngraosaken kados kakuncen saking gesang? Punapa panjenengan sampun nyobi sawetawis kori, lan namung manggih kakosongan ing sawingkinging kori lan mboten migunani? Punapa panjenengan ngupados margi tumuju satunggaling gesang ingkang migunani? Menawi makaten, Yesus punika marginipun! Yesus ngandika,”Aku iki lawange; sapa kang lumebune metu ing Aku, iku bakal kapitulungan rahayu, sarta bakal lumebu lan metu, apadene bakal nemu pangonan” (Yokhanan 10:9). KAGEM SADHEREK INGKANG MBETAHAKEN
KELAJENGANIPUN TUNTUNAN ROHANI SACARA PRIBADI

Sok sintano kamawon utawi paguyuban punapa kemawon ingkang kepingin nglantaraken katresnanipun Gusti, saged migunakaken sarana punika, punapa dene ingkang kawangun dados buku alit.
Supados isining seratan punika mboten ngalami ewah-ewahan, kasuwun dhateng sintena kemawon supados mboten "memproduksi" ing wangun punapa kemawon, sae sebagean sae sadaya isining Pawartos Kabingahan punika tanpa "ijin tertulis" saking Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia
menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar,  tanggal 5 September  1949.
Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberi maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus di saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia – yang tak mau meminta grasi kepada pemerintahan kolonial — sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.
Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi — sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya –  ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya “sebagai bunga yang sedang hendak mekar…digugurkan oleh angin yang keras”.
Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si “Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56 – sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946.  Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan.
Pada suatu hari ia luka.  Pada suatu hari ia ditangkap.  Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh  “Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda – untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan.
Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai “Revolusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mithos tersendiri. Ia termasuk sepucuk “bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras”.  Tapi “angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia.
**
Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata api,  melainkan untuk seorang atlit yang mati muda:  Dua baris yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young  adalah kalimat ini:
Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlit: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri “dari medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory does not last..   Seandainya ia hidup terus, akan ada atlit baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan.   Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi “namanya mati sebelum orangnya”, “the name died before the man”.
Tapi Housman tak seluruhnya benar.  Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya.. Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas di Olympiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih unggul dalam Olympiade Atlanta di tahun 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang memenangi  lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers –  diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis “bumi menutup kuping”  –  tak lebih buruk ketimbang tempik sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti,  diam adalah sebuah sikap hormat.  Tepuk tangan diberikan kepada sang hero — yang berubah, fana dan berdosa — tapi sikap hormat ditujukan buat  tindakan  yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.
Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik.  Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, tapi sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.
“Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man.
****
Juga Chairil Anwar.  Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: “sekali berarti, sudah itu mati”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar