Sabtu, 27 Juni 2015

nature 2



dalam sejarah yang memenangi  lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers –  diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis “bumi menutup kuping”  –  tak lebih buruk ketimbang tempik sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti,  diam adalah sebuah sikap hormat.  Tepuk tangan diberikan kepada sang hero — yang berubah, fana dan berdosa — tapi sikap hormat ditujukan buat  tindakan  yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.
Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik.  Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, tapi sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.
“Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man.
****
Juga Chairil Anwar.  Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: “sekali berarti, sudah itu mati”.
Ia menuliskan kata-kata  itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir di tahun 1785.  memimpin perang perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian.
Kita memang bisa bayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200.000 manusia itu. Namun kata-kata “sekali berarti (se)sudah itu mati”  — kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir – agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro.   Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70..
Mungkin ”sekali berarti, (se)-sidah itu mati”  lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri.
Ia meninggal pada usia  27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan bersenjata di Polobangkeng itu  Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus?  Karena “angin yang keras” tahun 1940-an?
Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada  lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujanggga Baru di tahun 1930-an menulis.. Bagi saya sumbangannya bagi perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisyahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai “rujak” belaka: segar tapi tanpa gizi.
Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya “segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada “gizi”?  Tidakkah dalam “segar” ada sesuatu yang lebih berarti – yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna?  Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang “bocah cilik” menemui hidup dengan “main kejaran dengan bayangan.”
Kiranya memang hanya si “bocah” – dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya — yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil; “main kejaran dengan bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.
Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini – juga kecemasan orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas.  Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang  — yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan subyektif dan spontan dalam kreatifitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab di masa itu – sebagai sebuah periode remaja.  Dengan kata lain, sesuatu yang sementara dan tak serius.
Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gairah dirinya selalu mendekati tarap tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia..
Kreatifitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan – itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, melimpah ruah,  penuh Sturm und Drang, deru dan desak,  yang menyebabkan puisi Chairil — yang ditulis di tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir – adalah bagian yang terkena “angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai “kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan menghempas.
Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.
** **
Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma  isinya, melainkan juga gayanya.  “Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan.. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.
Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termashur itu – cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa di akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai — Kartini meninggal di tahun 1904.
Umurnya baru 25.
Ia meninggal sebagai seorang ibu.  Di akhir hidupnya yang pendek ia isteri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib.
Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas suara generasi muda — tapi terjebak dalam palung ke-tua-an.  Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua.  Tradisi menentukan hampir segalanya.
Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil “Ibu kita”, bukan “sang pelopor”.  Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif.  Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar